Lanjut ke konten

Selamat Taufiq Kiemas..! Ketua MPR-ku, Seorang Politisi Pembolos

Oktober 4, 2009

Taufiq Kiemas

Taufik Kiemas dari Fraksi PDIP akhirnya terpilih sebagai pimpinan MPR RI 2009-2014 pada 3 Oktober malam. Taufiq Kiemas (TK) secara aklamasi terpilih setelah mendapat dukungan besar dari Demokrat, Golkar, dan PPP yang disokong oleh PAN, PKB, Hanura dan Gerindra. Sementara PKS sejak awal menolak TK, karena tetap  mengusung Hidayat Nur Wahid sebagai Ketua MPR di periode ke-2.

Taufiq Kiemas berhasil menduduki kursi Ketua MPR setelah melewati komunikasi politik yang intens dengan partai mayoritas di parlemen yakni Demokrat dan Golkar yang menguasai lebih 45% kursi DPR (Demokrat 26%, Golkar 19%).

Sejak pertengahan Agustus silam, wacana pemilihan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah marak dibicarakan. Taufiq Kiemas merupakan nama yang disebut-sebut akan menggantikan Hidayat Nur Wahid, Ketua MPR RI periode 2004-2009. Hal ini diperkuat oleh komunikasi politik yang intens TK kepada SBY (Demokrat) pasca pilpres 2009. Kemesraan SBY dengan TK semakin tampak ketika mereka berdua melakukan ‘cipika-cipiki’ sesaat selesai menyampaikan pidato kenegaraan di Senayan.

Dalam tulisan saya berjudul Taufiq Kiemas, Politikus Pembolos Menjadi Ketua MPR RI?, saya sudah melihat gelagat  bahwa TK akan mendapat dukungan yang besar dari SBY melalui Demokrat yang menguasai 26% suara parlemen (22% suara MPR). Salah satu alasan SBY memberi dukungan kepada TK (yang sering bolos) adalah untuk mengamankan “kekuatan oposisi” (PDIP) di parlemen.Tampanya SBY memilih TK bukan didasari karena tokoh tersebut rajin datang rapat dan menunjukkan jiwa kenegarawaan.  SBY tahu bahwa TK begitu ‘haus’ dengan jabatan prestisius. Hal ini terlihat jelas karena TK secara aktif melakukan lobby politik ke partai koalisi SBY-Boediono, padahal TK berasal dari partai (PDI-P) yang berseberangan dengan SBY-Boediono pada pilpres 2009 silam. SBY dan kita pun tahu bahwa meskipun MPR merupakan lembaga tinggi negara, namun institusi ini tidak memiliki pengaruh politik dan kekuasaan yang besar.

Selama 5 tahun (2004-2009), terbukti MPR dibawah Hidayat Nur Wahid tidak memiliki pekerjaan yang berarti. MPR hanya bertugas melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan langsung. Tugas dan wewenang yang lain seperti amandemen UUD 1945  sama sekali tidak pernah dilakukan oleh MPR RI era Hidayat Nur Wahid.  Begitu juga wewenang untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden atas usulan DPR apabila Presiden melakukan tindak pidana (seperti korupsi). Jadi, posisi ketua MPR sebenarnya posisi ‘tanggung’. Posisinya tinggi dalam strutur “simbolis ” lembaga negara, namun rendah dalam aktivitas dan ‘pengaruh’nya.

Namanya Saja Politik!

Sejak awal, PKS berharap agar SBY mengarahkan Demokrat untuk mendukung Hidayat Nur Wahid sebagai calon MPR RI periode ke-2. Secara chemistry, PKS merupakan partner sejak 2004. Ketika PKS mendukung SBY menjadi Presiden tahun 2004, maka pada kesempatan yang sama Demokrat mendukung Hidayat Nur Wahid menjadi ketua MPR RI 2004-2009. PKS berharap skenario ini dapat berjalan pada periode 2009-2014.

Namun fakta berbicara lain. Setelah kadernya tidak terpilih sebagai pendamping (Cawapres) SBY pada pilpres 2009 kemarin, tentu PKS sangat berharap agar Demokrat mau “menatap wajah” PKS. PKS ingin berkiprah lebih jauh. Jika tahun 2004, PKS mendapat kursi ketua MPR dan kursi menteri, maka setidaknya tahun 2009 harus mendapat kursi wapres (gagal), ketua MPR sekaligus menteri. Namun, fataknya PKS belum mendapat apa-apa.

Dan belajar dari pengalaman terdahulu, SBY pasti memilih sesuatu yang akan menguntungkan dirinya dalam menjalankan pemerintah selama 5 tahun ke depan. SBY ingin menghilangkan potensi munculnya rintangan kebijakan pemerintahnya di periode 2009-2014 oleh kekuatan oposisi. SBY ingin merangkul PDIP, Golkar, atau sekurang-kurangnya mengamankan PDIP dan Golkar dengan cara ‘menyuap’ agar ‘mulut’ mereka tidak ‘berkomat-kamit’. PDIP diberi kursi Ketua MPR, sedangkan untuk Golkar dikondisikan agar Aburizal Bakrie (yang turut menyumbang dana kampanye SBY-Boediono via putranya Anindya Bakrie) menjadi Ketua Umum Golkar. Inilah cara paling aman. Suara 19% kursi Golkar di DPR dapat mengamankan kebijakan-kebijakan global SBY. Sedangkan PDIP  seolah-olah menjadi partai oposisi (tidak diberi jatah menteri). Baik Golkar maupun PDIP telah masuk perangkap dan  sesungguhnya telah diberi jatah “koalisi” kepentingan segelintir petinggi partai yang opurtunius, yang haus dengan jabatan.

Oposisi semu, itulah strategi yang paling jitu untuk “menjinakkan” partai-partai besar diluar koalisi pemerintahan. Sementara “koalisi komendur”, merupakan strategi jitu mengendalikan 4 partai koalisi pemerintahan agar tidak ‘gelogok’ mengatur. Jadi, tekanan PKS terlalu kecil bagi SBY dibanding tekanan bila PDIP ‘terlalu liar’ di parlemen (artinya PDIP menjadi opisisi dan dapat menghambat kebijakan pemerintah yang menguntungkan pihak tertentu). Mendukung TK merupakan langkah yang paling menguntungkan. Memberi TK puas, PDIP menjadi tidak solid, dan sekaligus menjewer PKS agar ‘jangan terlalu percaya diri”.

Dan sesuai dengan kepentingan politik masing-masing partai, maka Golkar dan PPP yang sejak awal ingin memiliki kursi pimpinan MPR akhirnya bergandengan dengan Demokrat mengusung TK dari PDIP. Dan akibatnya, jatah DPD menjadi berkurang tinggal 1. Berikut hasil lobbi politik ketua MPR RI tahun 2009-2014:

  • Ketua: Taufiq Kiemas (F-PDIP)
  • Wakil Ketua: Hajriyanto Y. Thohari (F-P.Golkar)
  • Wakil Ketua: Melani Leimena Suharli (F-P.Demokrat)
  • Wakil Ketua: Lukman Hakim Saifudin (F-PPP)
  • Wakil Ketua: Ahmad Farhan Hamid (Kelompok DPD)

Selamat kepada ketua dan wakil ketua yang telah terpilih melalui lobby politik penguasa di Senayan!

Catatan :
Majelis Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Jumlah anggota MPR periode 2009–2014 adalah 692 orang, terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132 anggota DPD. Masa jabatan anggota MPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Ketua MPR-ku, Seorang Politisi Pembolos

Masih segar ingatan bahwa pada akhir tahun 2008, Taufiq Kiemas menjadi bahan pembicaraan media tatkala Agoes Condro ‘mengugat’ privilege TK yang terlalu imun. Meskipun TK sering bolos mengikuti sidang bahkan titip absen, namun ia tidak pernah ditegur oleh BK DPR RI. Dalam catatan statistik selama rapat paripurna 2004-2007, TK ternyata sangat malas datang mengikuti sidang paripurna yakni tingkat kehadiran TK hanya 25% (Baca: Daftar Politisi DPR PDIP yang Pembolos). Artinya jika ada 4 kali sidang, maka TK akan bolos selama 3 kali dan hanya hadir 1 kali. Padahal, beliau dan juga anggota DPR lain mendapatkan gaji diatas Rp 40 juta per bulan untuk melaksanakan fungsi DPR (legislasi, budgeting dan pengawasan) yang biasanya dilakukan melalui rapat dan sidang paripurna.

Rendahnya tingkat kehadiran TK, mendapat sorotan sejumlah pihak dan media. Menurut pengamat politik dan dosen Fisipol UGM, Sigit Pamungkas, rendahnya tingkat kehadiran anggota DPR mengikuti rapat komisi atau  rapat paripurna DPR merupakan cerminan politisi busuk. “Itu penyakit politisi busuk karena tidak menjalankan fungsi dasar lembaga legislatif. Nah sekarang mau berperan dalam kebijakan DPR bagaimana orang hadir saja tidak pernah.” (sumber: inilah.com )

Karena terpojok oleh pemberitaan media karena telah lama tidak ‘berkunjung’ ke Senayan, maka pada 21 Oktober 2008, akhirnya TK datang ngantor ke Senayan. Ketika wartawan bertanya dengan nada sindiran pada TK ketika ia keluar dari sidang paripurna 21 Oktober “Tumben nih pak, hadir di sidang?”, dengan santai  dan tersenyum TK menjawab.  “Malu juga saya dikritik adik-adik.” (sumber: inilah.com)

Jika pak Taufiq Kiemas malu dikritik adik wartawan karena ia adalah politisi yang pembolos, maka adalah hal wajar jika saya juga malu memiliki Ketua MPR yang berasal dari politisi pembolos.

********

Namun, karena pak TK sudah terpilih menjadi pimpinan MPR bersama 4 wakilnya, maka kita hanya berharap agar ‘habit’ malasnya sembuh dan sebaliknya menunjukkan etikad dan sikap yang positif untuk memimpin lembaga yang ‘hanya’ melantik Presiden/Wakil Presiden semata (selama tidak ada perubahan/amandemen UUD 1945). Mungkin kita hanya bisa berusaha berpikir positif bahwa selama ini beliau memang sangat sibuk menerima aspirasi rakyat di berbagai daerah sehingga tidak memiliki waktu hadir di Senayan.

Dan pada kesempatan 5 tahun ini, semoga ia mampu membawa citra MPR, DPR dan DPD yang lebih baik dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Tidak ada lagi anggota DPR/MPR yang bolos apalagi titik absen. Tidak ada mafia undang-undang, begitu juga korupsi dan suap-‘menyuap’.

Semoga pak TK mendengar doa dan harapan kita…..

Salam Perubahan,
ech-wan (4 Oktober 2009)

Catatan:
Judul tulisan ini terinspirasi dari film dokumenter Eagle Award yang berjudul “Kepala Sekolahku Seorang Pemulung“. Dalam hal ini, saya lebih bangga memiliki kepala sekolah yang mau mencari nafkah dengan memulung, daripada seorang politisi yang menerima gaji tapi suka membolos.

Tulisan Terkait

52 Komentar leave one →
  1. kevin permalink
    Februari 28, 2012 5:48 PM

    aku mau tahu nama anggota mpr sekarang

  2. Desember 24, 2012 9:18 AM

    Semoga Mengerti apa Yg menjadi Tanggung Jawab & amanah nya Dari Rakyat.Pilh Lah Mana Yg Terbaik.Mana Yg Harus di dahulukan,mana yg tidak.Karena Menjadi Perhatian Dari Masyarakat.

Tinggalkan komentar